• Perpustakaan
  •  Palawa
  • Portal Akademik
  • Portal UGM
  • Prolat MPWK
  • Webmail
  • Bahasa Indonesia
    • English
    • Bahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Magister Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang
    • Visi dan Misi
    • Akreditasi
      • Nasional
      • Internasional
    • Jaringan & Kerjasama
      • Mitra Kerja Sama
    • Kalender Akademik
    • Hubungi Kami
  • Komunitas
    • Staf Pengajar
    • Staf Kependidikan
    • Organisasi Mahasiswa
    • Alumni
      • Komunitas Alumni
      • Pelacakan Studi
      • Layanan Alumni
  • Program
    • Master by Course
      • Silabus & Kurikulum
      • Strategi Pembelajaran
    • Master by Research
      • Kurikulum
      • Strategi Pembelajaran
    • Double Degree Program
      • Double Degree University of Groningen
      • Kobe University
    • Penerimaan Mahasiswa Baru
    • Program Pelatihan
  • Mahasiswa
    • Yudisium dan Wisuda
    • Prestasi
    • Beasiswa
    • Layanan
      • Fasilitas
      • Layanan IT UGM
      • SIMASTER UGM
      • Perpustakaan UGM
      • FT UGM Cloud Printing
      • Unggah Mandiri
      • Wisuda UGM
  • Penelitian
    • Agenda Riset
    • PUBLIKASI
    • JURNAL
  • Link
    • UNDUHAN
    • Prolat MPWK UGM
    • DPP UGM
    • OIA UGM
    • Perpustakaan UGM
    • Perpustakaan FT UGM
    • S1 PWK
    • Fakultas Teknik
    • OIA Fakultas Teknik
    • DTAP UGM
    • S2 Arsitektur
    • S3 Arsitektur
    • PSPPR UGM
  • Beranda
  • Creative Cluster Or Creative Class

Creative Cluster Or Creative Class

  • 25 Maret 2014, 08.00
  • Oleh:
  • 0

MPKD UGM. Florida (2003) menyatakan bahwa orang-orang kreatif cenderung memilih lokasi dengan “Talenta, Teknologi dan Toleransi” yang akan menjadi pusat kreatifitas. Tesis ini disusun oleh : Asmorowati NIM : 10/327631/PTK/08007. Sebagai pembimbing Utama : Ir. Leksono Probo Subanu, MURP., Ph.D. Publikasi tesisnya : Kluster Kreatif Atau Klas Kreatif?: Studi Kasus Kampung Seniman Nitiprayan, Yogyakarta (Creative Cluster Or Creative Class?: A Case Study Of  Nitiprayan Artist Kampong, Yogyakarta).

Florida (2003) states that creative people tend to move to an area with place-related―talent, technology and tolerance‖ that become a creative center. Porter (2000) argues that clusters, or geographic concentrations of interconnected companies and associated institutions in a particular field, linked by commonalities and complementarities. Further, the ongoing process of cooperation and collaboration to solve shared problem result a clustering.

The research studies the relevance between the Florida‘s context of creative class and the Porter‘s context of creative clusters. The main-research question is: Why has Nitiprayan artist kampong emerged and grown as a creative economy?‖ Further the research wants to know  to what extent the emergence and growth of Nitiprayan artist kampong can be explained with Porter‘s context of creative clusters and with Florida‘s context of creative class. This study is an explanatory study as the study is trying to search for the causes and reasons for the phenomenon and its historical background.

The research found that Florida‘s theory explains why artists move to Nitiprayan. Amenity,  is the most important factor that they looking for. It will create a perfect ―habitat‖ for artist to create the art work. They have different lifestyle, such as nightlife and peculiar appearance. A place with openness and tolerance attracts them. Social interaction exist either among the artist and between artists with the local society. Their identity is an artist of Yogyakarta. The natural view, Javanese traditional art and its activities, the authenticity and quality of place, are what make this place more attractive  to many artists. It is clearly that Richard Florida‘s theory of creative class giving a powerfull explanation in the process of emerging this creative center. Meanwhile, Porter‘s theory of cluster is more relevant to explain the growth of this creative cluster. Quality of place in theory of cluster including natural resources, physical infrastructure, strategy and rivalry. Demand condition is also affecting their decision to choose this place as a place to live except the presence of the buyers that mainly collectors inside or outside Indonesia. Collective action was built among the artists. Trust that includes familiarity grew. Network is very important for developing their career. Legal or contractual security is needed in trading process of the artwork because the product is a very expensive and high-valued commodity.

The process is continuing, from forming a creative class to clustering. Clustering become more important. The study results appear that this cluster stage reaching the emerging cluster. Ongoing collaboration or joint project was developed. The weakness form this cluster is the government support. Moreover, firms need to become economically viable. This redirects government support to start to give attention to modern art as well not only to traditional art. The difficulty is to strike a balance: promote clustering without losing the openness. Further, this study reveals that both theories are important and linked.

Florida (2003) menyatakan bahwa orang-orang kreatif cenderung memilih lokasi dengan “Talenta, Teknologi and Toleransi” yang akan menjadi pusat kreatifitas. Porter (2000) berpendapat bahwa kluster, merupakan sebuah konsentrasi geographis  beberapa perusahaan yang saling berhubungan dan instistusi-institusi terkait di dibidang tertentu yang terhubungkan oleh kesamaan atau saling melengkapiu. Proses akan kerjasama dan kolaborasi yang terus berjalan tersebut akan menghasilkan sebuah klustering.

Penelitian ini mempelajari kaitan antara konteks klas kreatif oleh Florida dan konteks kluster kreatif oleh Porter. Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah: “Mengapa kampong seniman Nitiprayan muncul dan berkembang sebagai salah satu ekonomi kreatif?” Selanjutnya, penelitian ini ingin mengetahui sampai sejauh mana kampong seniman Nitiprayan ini kemunculan dan perkembangannya ini bisa dijelaskaan dengan teori klas kreatifnya Florida dan teori cluster kreatifnya Porter. Studi ini merupakan studi eksplanatori yang berusaha mencari penyebab dan alasan-alasan yang melatar belakangi fenomena ini.

Penelitian ini menemukan bahwa teori Florida menjelaskan mengapa seniman pindah ke Nitiprayan. Kenyamanan adalah faktor yang paling dicari. Kenyamanan akan menghasilkan habitat yang sempurna bagi seniman untuk menghasilkan karya. Mereka mempunyai gaya hidup yang berbeda seperti kehidupan malam dan penampilan yang aneh. Tempat dengaan keterbukaan dan toleransi juga menarik buat mereka. Interaksi social terjadi antar seniaman dan antara seniman dengan penduduk local. Identitas mereka adalah sebagai seniman Yogyakarta. Pemandangan alam, seni tradisional Jawa, dan berbagai kegiatannya keotentikkan dan kualitas tempat adalah hal-hal yang membuat lokasi ini lebih menarik bagi seniman-seniman. Di lain pihak, teori Porter tentang kluster kreatif nampaknya lebih relevan untuk menjelaskan perkembangan dari kluster kreatif ini. Kualitas tempat dalam kluster teori mencakup sumber daya alam, infrastruktur fisik, strategi dan persaingan. Kondisi permintaan juga mempengaruhi keputusan yang diambil dalam memilih lokasi sebagai tempat tinggal kecuali keberdaan pembeli yang terutama berupa kolektor baik dari dalam maupun luar Indonesia.Kerja sama dibangun antar sesame seniman. Jaringan kerja juga penting untuk mengembangkan karir mereka. Legalitas atau kontrak diperlukan dalam proses transaksi jual-beli sebuah karya karena barnag tersebut merupakan barang yang mahal dan bernilai tinggi.

Proses tersebut berlanjut diawali pembentukan kelas kreatif menuju clustering. Klustering menjadi penting. Berdasarkana studi ini diperoleh hasil bahwa kluster ini mencapai fase kluster yang mulai mumcul. Kolaborasi berlanjut atau proyek bersama telah berkembang. Kelemahan dari kluster ini adalah dukungan dari pemerintah. Terlebih lagi, perusahaan-perusahaan tersebut perlu lebih kuat secara ekonomi. Hal ini mengarahkan pada dukungan pemerintah untuk mulai lebih memberikan perhatian untuk seni modern tidak hanya seni tradisional. Kendala yang ditemui adalah untuk mempertahankan keseimbangan: mendukung clustering tanpa kehilangan keterbukaan. Lebih lanjut lagi, studi ini membuka bahwa kedua teori tersebut penting dan saling berhubungan.

Pembaca web MPKD UGM silahkan untuk berbagi tulisan dan tanggapan yang bersifat positif dan membangun. Untuk komentar silahkan anda masukan di bawah tulisan atau anda bisa menyebarkan tulisan ini dengan mengklik ikon bagikan ini dan beri penilaian dengan like this. Anda juga bisa masuk di page mpkd dengan alamat sebagai berikut : Page MPKD UGM. Serta kunjungi juga groupnay MPKD di Magister Perencanaan Kota & Daerah di facebook. Pembaca yang budiman selain melalui google drive, naskah publikasi ini bisa juga di akses melalui  website : http://etd.ugm.ac.id.

Tags: creative economy; regional development. creative people; creative class; creative clusters

Recent Posts

  • MPWK UGM Lakukan Wawancara Calon Mahasiswa Pascasarjana Timor Leste
  • Mahasiswa MPWK UGM Lakukan Survei Lapangan di Jawa Barat
  • Understanding Complexity of the Development in Various Context
  • Mengulas Perencanaan di Indonesia dalam Konteks Perencanaan Negara Berkembang
  • Mahasiswa MPWK UGM Terpilih Menjadi Partisipan Program YPP ISOCARP 2024
Universitas Gadjah Mada

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota

Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Jl. Grafika No. 2 Kampus UGM, Yogyakarta 55281

   mpwk@ugm.ac.id
   +62 (274) 580095; 580101
   +62 (274) 580052

© 2019 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju